Categories
Destinasi News

Melestarikan Seni Budaya Tradisional melalui Wisata Religi Kota Batu

Mediapariwisata.com Kota Batu – Dalam rangka menyambut peringatan hari jadi kota Batu yang ke 20 tahun, yaitu pada tanggal 17 Oktober, Dewan Kesenian Kota Batu ( DKKB ) laksanakan kegiatan ” Sambang lan Suguh Pepunden, Dahyang lan Dahwang “.

Kegiatan ini melibatkan semua jajaran pengurus yang ada, komando oleh ketua umum DKKB 2021 – 2026 Sunarto, seniman muda pegiat reyog dan glendo barong asal Desa Sumberejo. Dengan membagi 3 wilayah kecamatan agar semua dapat selesai dan merata. Wilayah kecamatan Bumiaji dipimpin oleh Aditya Fajar Utama seorang pemerhati sejarah yang juga merupakan pimpinan organisasi pemerhati sejarah “Barisan Mbah Sinto”. Wilayah Kecamatan Batu dipimpin oleh Andi Tri Sudrajat seorang desainer budaya dan merupakan pimpinan “Sanggar Banyu kendi” yang bergerak di bidang seni pertunjukan dan Event Organizer. Wilayah Kecamatan Junrejo dipandu cak Moko, pemuda pelestari seni budaya tradisional yang juga abdi negara aktif di pemerintah Kota Batu.

Di sampaikan oleh ketua Dewan Kesenian kota Batu ( DKKB ) Sunarto, bahwa meskipun secara dejure menunggu dilantik oleh stakeholder terkait, namun secara defacto kepengurusan DKKB 2021-2026 terus bergerak ngabekti kagem negeri, tlatah ing Mbatu Aji.

Terkait dengan kegiatan  “ Sambang lan Suguh Pepunden, Dahyang lan Dahwang Kota Batu ” yang dilaksanakan pada Senin Kliwon, 11 Oktober 2021 ini merupakan gagasan Dewan Kesenian Kota Batu (DKKB). Rabu ( 11/10/2021 ).

” Maksud dan tujuan kegiatan ini sebagai “atur bekti” anak cucu para leluhur kota Batu yang dalam waktu dekat ini akan berulang tahun yang ke-20. Berharap dengan umur kota Batu yang mamasuki 2 dasawarsa dapat semakin maju dan berkembang, berdaya dari desa menuju kota yang Berjaya “. jelasnya. 

Kegiatan dilakukan dengan menyambangi, menabur bunga, dan membacakan doa di punden-punden yang ada di Kota Batu yang menurut data Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Batu ada sekitar 119 Punden. 

” Kegiatan ini, merupakan prosesi penghormatan dan darma bakti kepada para leluhur kota Batu yang ada di masing-masing desa dan kelurahan sebagai wujud pelestarian nilai budaya secara turun-temurun yang sejak dahulu adalah hal wajib yang diajari orang tua kepada anak, saudara, dan kerabat.

Dengan mendatangi pusara para sesepuh dan tempat keramat sebagai perwujudan merajut tali silaturrahim antar sesama dan kepada leluhurnya “. ujarnya.

Kegiatan semacam ini bahkan disakralkan oleh para orang tua atau siapa pun yang akan mempunyai hajat untuk sambang leluhurnya dimana pusaranya berada. Dengan serangkaian ritual berkirim doa sesuai dengan kepercayaan disertai dengan menabur bunga serta membakar dupa bahkan tidak jarang juga saat ini biasa terlihat di berbagai tempat ada yang membawa air siraman dalam sebuah botol atau kendi pun tak jarang pula diantaranya banyak ditemukan ada yang memasang sesaji dalam berbagai bentuk dan bermacam isi. 

” Hal ini, dilakukan untuk tujuan berharap berkah (Ngalap Berkah) dari yang Maha Kuasa atas jasa dan budi baik para leluhur yang telah tiada, tentunya dalam rapalan serta doa yang dibacakan bukan untuk meminta sesuatu kepada yang telah tiada namun halnya ini berkaitan dengan prosesi dan cara mendekatkan diri kepada yang Maha Kuasa atas segala-galanya. Mendoakan leluhur, menyuguhkan bakti syukur.

Punden, sebagai tempat para leluhur bersemayam di alamnya diyakini sebagai lokasi yang suci, sakral, dan dihormati tetapi bukan untuk dipuja-puji. Dalam arti  kata menurut sesepuh seperti Mbah Yai Sunarto warga jalan Samadi Desa Pesanggrahan Kota Batu awalnya berasal dari kata “pundi-pundi” yang berarti wadah/tempat amal baik sang leluhur yang harapannya dapat mengalirkan nilai kebaikan kepada siapapun yang merawat dan menjaganya bahkan yang hanya berkenan mendatanginya.

Dahwang, berasal dari gabungan kata wadah dan pembedah kerawang yang berarti sesosok atau sekumpulan makhluk ciptaan-Nya yang membedah lokasi daerah cikal bakal sebuah daerah sebagai tempat manusia memulai peradabannya sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri sehingga sampai saat ini suatu daerah atau tempat menjadi ramai penduduknya.

Dahnyang, kata tersebut adalah sebuah kata yang berarti pemangku wadah dan pembedah siapapun yang “Nyang” dan “Tidak Nyang” dalam Bahasa jawa kata nyang berarti hadir. Dalam hal ini juga menurut beliau bahwa dahnyang ada 2 perwujudan yaitu yang kasat mata seperti manusia biasa yang biasa terlihat sehari-hari (Dahnyang Katon) dan tak kasat mata dalam dimensi lain yang tak mampu orang biasa mengetahui dan mengenalnya “. imbuh Sunarto ketua umum DKKB 2021 – 2026 terpilih.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *